Blues Hari Itu

03.59.00

Hari itu kusematkan sepucuk kembang melati di telingamu sebelum kepergianku lusa nanti. Esok pasti aku akan sangat sibuk mengurus segala keperluan dan berpamitan kepada saudara serta keluargaku dan mungkin sulit untuk bertemu denganmu. Rabu pagi di ujung pintu Gambir, enam lewat tiga puluh pagi keretaku akan berangkat, lima menit sebelum keberangkatan aku menitipkan salam perpisahan pada pesan singat di telpon genggam karena mungkin kamu sedang sibuk dengan pekerjaanmu kemarin dan tubuhmu masih lelah, lelap tidurmu. Aku baik-baik saja tidak sempat memeluk atau bahkan hanya melihat matamu hari itu.


Bertahun sudah aku hidup dikota ini, dengna segala yang kuharapkan perlahan tercapai satu-persatu. Senja dikotaku jingga membiru, dimejaku baru saja tersaji secangkir kopi, dibalik kaca jendela aku melamun sambil menatap langit itu. Nur, dalam lamunanku tadi aku teringat namamu. Nur, aku jadi tak lagi peduli bagaimana harum kopi ini, aku lebih menginggat bau melati yang waktu itu kupetik dan kusematkan ditelingamu. Aku memejam sejenak waktu barista itu mematikan musik blues yang mengantar senjaku tadi untuk mendengarkan suara adzan yang terdengar sayup-sayup. Pada doaku setelah usai adzan tadi, kusisipkan namamu diantaranya. Mungkin sebentar lagi air mata ini tak lagi dapat terbendung, meski selalu kamu bilang padaku kalau secangkir kopi adalah penawar luka dan duka.

Mungkin memang aku sudah terlalu bahagia menuai kasih denganmu, Nur. Sekarang adalah doaku yang selanjutnya; tetapi dengan senyum manis tanpa ada lagi yang teriris. Di ruang kecil kedai kopi itu, aku berbagi tanda dengan-Nya, seperti kamu berbagi tanda penawar luka dengan secangkir kopi padaku.

"Nur, engkaulah subuh
Penanda sujud pertama
Dalam barisan wajib perintah Allah.
Nur, luka dalam sebaris doa.

Sunyi bathinku pada bulan pertama.
Beruntung, kamu mengingatkanku pada cawa penawar luka
bertahun silam.
Kini, riuh bathinku pada sujud pertama."

                                                                 -------------------------

Pada buku catatannya ia tinggalkan empat belas halaman yang penuh luka. Ditiap sudutnya, ditiap sendi-nya. Ada akhir yang menanyakan tentang kepulangannya. Bukan tak sempat untuk membalas atau sekedar ia buka pesan singkat itu. Tetapi, empat belas halaman dalam buku catatannya tentang awan, langit, dan manusia lupa ia beri cahaya.

You Might Also Like

0 komentar

Facebook

Twitter